Bogor, Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), IPB University bekerja sama dengan Komunitas Migas Indonesia (KMI) dan PT. Petrokimia Gresik menggelar SBRC Webinar Series Biosurfactant secara online pada hari Sabtu, 14 Agustus 2021 dengan tema “Tantangan dan Peluang Implementasi Surfaktan untuk Industri Perminyakan”. Webinar ini merupakan webinar seri ke-8 dari SBRC Webinar Series yang rutin diadakan setiap bulan.
Webinar dibuka oleh Sekretaris SBRC IPB, Dr. Dwi Setyaningsih, dan dilanjutkan dengan sambutan kunci oleh Dirjen Migas, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Prof. Ir. Tutuka Ariadji M.Sc. Ph.D., IPU. Turut hadir sebagai narasumber antara lain Benny Lubiantara (Deputi Perencanaan SKK Migas), Andi W. Bachtiar (Project Expert – Development & Production PT Pertamina Hulu Energi), Dr. Oki Muraza (SVP Research Technology & Innovation PT Pertamina Persero), serta Ketut Rusnaya (SEVP Operation PT. Petrokimia Gresik). Acara webinar ini dimoderatori oleh S. Herry Putranto, Chairman KMI.
Industri perminyakan di Indonesia sudah berusia lebih dari 100 tahun dan produksi minyak di Indonesia terus menerus berkurang setiap tahunnya. Konsumsi BBM menjadi sumber energi utama di Indonesia maupun dunia. Hal ini terlihat dari jumlah konsumsi BBM yang terus meningkat. Produksi minyak bumi Indonesia sejak tahun 1999 terus mengalami penurunan. Rendahnya kemampuan produksi minyak bumi Indonesia disebabkan karena lapangan minyak Indonesia sebagai besar merupakan sumur-sumur tua, sehingga produksi minyaknya rendah.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi minyak bumi adalah penggunaan surfaktan sawit produksi dalam negeri melalui teknologi enhanced oil recovery (EOR). Namun, selama ini surfaktan yang umum digunakan harus diimpor dari luar negeri. Surfaktan sawit lebih ramah lingkungan dan didukung pula oleh kebutuhan yang besar dengan banyaknya sumur minyak bumi di Indonesia yang perlu ditingkatkan produksinya. Salah satunya adalah Blok Rokan yang baru dialihkelolakan dari PT. Chevron Pacific Indonesia kepada PT. Pertamina (Persero).
Salah satu strategi Pemerintah untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) pada tahun 2030 adalah dengan mempercepat pengembangan Enhanced Oil Recovery (EOR). Diharapkan pada tahun 2030 nanti sumbangan dari EOR terhadap produksi minyak nasional mencapai sekitar 100 ribu bph.
Tutuka Ariadji, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM menyampaikan bahwa Ditjen Migas sudah mengumpulkan KKKS untuk memverifikasi rencana produksi 1 juta (bph) di tahun 2030, yang terkait Enhanced Oil Recovery dengan target di tahun 2030 sekitar 100 ribu (bph). Menurut Tutuka Ariadji, pemanfaatan EOR sebagian besar akan berasal dari kegiatan steam flooding di Blok Rokan mulai tahun 2022 yang diperkirakan akan menghasilkan produksi minyak sebesar 62.207 bph pada tahun 2030.
Namun, untuk chemical EOR (CEOR) masih sedikit. Adapun, tambahan produksinya bisa diperoleh dari proyek Handil di Blok Mahakam yang diperkirakan onstream tahun 2027 dan mencapai produksi minyak sebanyak 3.500 bph pada tahun 2030. Proyek CEOR lainnya dari Blok ONWJ yang diharapkan onstream tahun 2027 dengan produksi minyak sekitar 3.612 bph pada tahun 2030. Kemudian proyek CEOR Zulu North, juga dari Blok ONWJ, yang diharapkan menyumbangkan minyak sampai 8.971 bph pada tahun 2030, setelah sebelumnya juga diharapkan onstream pada tahun 2027, ungkap Tutuka secara rinci.
“Chemical EOR masih sedikit, dan ini tugas kita semua untuk bagaimana meningkatkan chemical EOR ini, di sini ada contohnya seperti di Zulu, E-Main dan Handil” tutur Tutuka. “Volumenya dari chemical EOR belum cukup besar, dan waktunya perlu dipercepat. Harapannya, EOR ini bisa berkontribusi cukup signifikan di tahun 2030” sambungnya.
Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara mengungkapkan pengembangan EOR di Indonesia sejatinya bukan sesuatu yang baru. Khususnya untuk jenis steam flood yang telah lama dikembangkan di Lapangan Duri, Blok Rokan. “Duri itu menjadi contoh bagi negara-negara lain, bagaimana penerapan steam flood yang efektif” ungkap Benny. Benny melanjutkan potensi dari EOR di Indonesia cukup besar, sekitar 3 BSTB (miliar standar barel tangki) minyak. “Kalau dibandingkan remaining reserve itu cuma 2,5 (BSTB). Namun, potensi tanpa adanya eksekusi dan tindak lanjut” tambah Benny.
Andi W. Bachtiar, Project Expert – Development and Production PT. Pertamina Hulu Energi (PHE), menyebutkan bahwa Pertamina telah mengumpulkan banyak jenis surfaktan di laboratorium untuk mendukung pengembangan EOR dan aktivitas operasi lainnya. Andi menambahkan bahwa masih banyak tantangan perlu diselesaikan sehingga mempermudah implementasi surfaktan di Indonesia antara lain perbaikan kapabilitas organisasi, development cost harus sebanding dengan reward/keuntungan proyek, dan longterm partnership harus dibangun antara chemical company, formulator, dan Pertamina.
Oki Muraza (SVP Research Technology and Innovation PT. Pertamina Persero), juga menyampaikan pentingnya pasokan chemical EOR atau surfaktan produksi di dalam negeri. “Untuk biaya dan harga, diharapkan dengan adanya produksi di dalam negeri bisa lebih murah” harap Oki.
PT. Petrokimia Gresik merupakan salah satu perusahaan yang telah menangkap peluang bisnis surfaktan ini. Ketut Rusnaya, SEVP Operation PT. Petrokimia Gresik, menjelaskan bahwa Petrokimia Gresik sudah bekerjasama dengan SBRC untuk pengembangan surfaktan ini.
Petrokimia Gresik bersama SBRC IPB telah menyelesaikan konstruksi pabrik mini surfaktan. “Pada tanggal 1 Juli 2020, Petrokimia Gresik sudah berhasil melakukan pre commisioning dan frist trial product-nya pada tanggal 4 Juli 2020. Sampai saat ini kita terus melakukan optimasi, baik secara kualitas maupun kestabilan operasi sehingga diperoleh produk yang memenuhi untuk standar chemical EOR” ungkap Ketut. Sampai saat ini pabrik mini surfaktan Petrokimia Gresik dan SBRC IPB telah mampu memproduksi sampai 23.000 liter surfaktan. Ketut menambahkan bahwa pabrik mini surfaktan tersebut akan ditingkatkan kapasitas produksinya untuk mengakselerasi peluang dari chemical EOR di industri migas dalam rangka mendukung pencapaian target 1 juta BOPD di tahun 2030.